Kamis, 23 Mei 2013

MENYIKAPI KONTROVERSI UU PERGURUAN TINGGI*)


                               MENYIKAPI KONTROVERSI UU PERGURUAN TINGGI*)


Ketika Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU PT) disahkan oleh Presiden 12 Agustus 2012 muncul penolakan dari berbagai pihak, mulai dari kalangan pengamat pendidikan, mahasiswa, Perguruan Tinggi Swasta, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penolakan itu merupakan rentetan keberatan sejak UU PT itu masih dalam bentuk Draft, 4 April 2012. Beberapa keberatan itu antara lain indikasi bahwa UU PT merupakan hasil “kloning” dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), indikasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi dan “sengketa” kewenangan dalam otonomi pendidikan tinggi.
Kemudian mari kita kaji pertentangan-pertentangan itu lebih dalam. Pertama, menyoal indikasi bahwa UU PT hasil “kloning” UU BHP. Tuduhan itu didasarkan adanya banyak pasal yang memuat tentang Badan Hukum Pendidikan padahal bahwa UU BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010 karena  banyak pasal yang bertentangan dengan UUD 1945. UU PT seolah-olah ingin menghidupkan kembali UU BHP yang sangat mengkomersilkan pendidikan.
Menurut hemat saya tuduhan itu kurang tepat, sebab pertama, UU BHP adalah turunan dari UU No. 20 th. 2003 tentang Sisdiknas sedangkan UU PT bukanlah turunan dari UU No. 20 th. 2003 melainkan turunan langsung dari UUD 1945. Ada atau tidak UU PT akan tetap ada UU BHP sebab itu amanat Undang-Undang (Pasal 53 ayat 4, UU No. 20 th. 2003). Kedua tentang frasa “Badan Hukum Pendidikan”, dalam putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 salah satu putusannya menyatakan bahwa frasa itu konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Ketiga, indikasi bahwa semangat BHP dalam UU BHP sama dengan BHP dalam UU PT yaitu komersialisasi pendidikan, perlu pembuktian yang lebih konkrit. Pada dasarnya BHP dalam UU PT merupakan sistem pengaturan keuangan yang memakai sistem Badan Layanan Umum (BLU) yang memberikan pelayanan didasarkan pada prinsip nirlaba, efisiensi dan produktivitas. Ke”awam”an masyarakat tentang BLU-lah yang memicu penolakan. Jika terjadi penyelewengan dalam penerapan BLU bukan berarti sistem yang salah, melainkan oknum.
Soal kedua, tentang indikasi Liberalisasi Pendidikan. Hal itu didasarkan pada pasal 90 UU PT tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh negara lain, pasal ini memungkinkan PT asing membuka cabang di Indonesia. Dengan adanya klausul ini memungkinkan PT asing dapat menanamkan “investasi sosial”, “investasi bisnis” dan “investasi ideologi” di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Sofyan Efendi, pasal tersebut memiliki sejarah yang panjang, sejak tahun 1994 ketika Indonesia meratifikasi perjanjian-perjanjian perdagangan mutilateral dan menjadi anggota World Trade Organization (WTO - Organisasi Perdagangan Dunia) dan pada tahun 2005 menyetujui General Agreement on Trade in Services (GATS – Perjanjian Umum Perdagangan Jasa), dimana pendidikan merupakan salah satu dari 12 bidang jasa tersebut.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut:
1)      Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program;
2)      Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri;
3)      Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, dan
4)      Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal.
Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14 persen, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40 persen. Keterbasasan dana pemerintah, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi.
Kesimpulanya, tak dapat dipungkiri bahwa pasal 90 adalah pengejawantahan liberalisasi pendidikan, namun sampai kapanpun sulit menghilangkan pasal ini selama Indonesia masih tergabung dalam WTO. Indonesia tidak dapat mengucilkan diri dari Internasionalisasi (bukan Globalisasi), hanya, pemerintah harus membuat regulasi yang tepat dan dapat menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Terkait ideologi, kita selalu berfikir inferior, seolah pancasila ideologi terkucil dan tidak mampu membendung ideologi-ideologi asing. Mengapa kita tidak berfikir sebaliknya, menularkan ideologi pancasila terhadap negara lain. Hanya dengan itu pancasila menjadi ideologi universal, sejajar dengan marxisme, liberalisme, solialisme dan ideologi lain. Lagipula UU PT telah menetapkan pancasila sebagai matakuliah wajib (Pasal 35 ayat 3b), selangkah lebih maju dari UU No. 20 Th. 2003. Harvard-pun (seharusnya) wajib mengajarkan matakuliah pancasila jika membuka “waralaba” di Indonesia.
Soal terakhir terkait otonomi perguruan tinggi. Beberapa pengamat mengatakan bahwa UU PT mencederai otonomi perguruan tinggi dan juga dalam arti pendidikan tinggi. Pemerintah dinilai terlalu campur tangan dalam menetapkan rumpun ilmu, kurikulum, dan penelitian. UU PT nantinya perlu menerbitkan setidaknnya 11 Peraturan Pemerintah (PP) dan 31 Peraturan Menteri (Permen), bandingkan dengan hanya 5 hal yang harus diatur dalam statuta PT masing-masing. Bahkan menurut pasal 66, statuta PTN dan PTN Badan Hukum ditetapkan dengan Permen dan PP.
Pengekangan terhadap kebebasan akademik akan justru menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Idealnya memang PT diberikan otonomi penuh untuk mengembangkan diri, namun kiranya perlu kita pertimbangkan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini.
Saya berpendapat bahwa campur tangan pemerintah itu bukan tanpa dasar. Pengaturan itu adalah bukan bentuk batas atas melainkan batas minimal. M. Nuh, Mendikbud RI menyatakan dari 83 PT pemerintah, kualitasnya berbeda-beda. Sebanyak 7 PTN berstatus badan hukum milik pemerintah yang dinilai sebagai kampus unggulan di negeri ini, 20 PTN menerapkan pengelolaan BLU, dan sisanya satuan kerja. Adapun jumlah PTS lebih banyak lagi, sekitar 3.000 PT. Disparitasnya juga sangat lebar. Tak sampai 50% PTS ”sehat”. Belum lagi soal kualitas dosen dan publikasi internasional. Dari sekian banyak PT itu tak ada satupun yang masuk 100 besar dunia. Menurut QS Top Universities, UI  hanya menempati peringkat 217, ITB  peringkat 342 dan UGM peringkat 451. Hanya 3 PT itu yang masuk 100 besar Asia dan menurut Webometrics ada 29 PT yang masuk 100 besar Asia Tenggara (UI peringkat 6). Itu menunjukkan kualitas PT Indonesia dibanding PT luar negeri.
UU PT tentu saja harus menaungi semua kepentingan PT yang kondisinya berbeda-beda. Semuanya tentu ada saatnya, perlu ada fase-fasenya, mulai dari penguatan, pemberdayaan, dan sinergi. Arahnya, PT harus otonom. Kondisi saat ini sepertinya lebih memungkinkan untuk tetap memberikan kontrol. Ada banyak wewenang yang telah didelegasikan kepada masing-masing PT, namun banyak pula yang harus tetap berada dalam kewenangan Menteri atau Pemerintah untuk menjamin semuanya menuju ke satu arah: tujuan pendidikan nasional.
Kita bukanlah bangsa yang hendak berjalan mundur. Kita tidak ingin UU PT bernasib seperti UU BHP. Kita tentu berharap semoga UU PT dapat meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, sebagai pilar  pembangunan bangsa. Menurut Prof. Dr. Soedijarto MA, Indonesia adalah satu-satunya atau paling tidak salah satu dari tidak banyak negara yang dalam deklarasi kemerdekaannya, yang selanjutnya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang meletakkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi penyelenggaraan pemerintahan negara. Bandingkan dengan deklarasi kemerdekaan Amerika yang “hanya” menjamin terpenuhinya hak dasar manusia: “life, liberty, and pursuit of happiness” – hak hidup, kemerdekaan dan memperoleh kebahagiaan.

*) oleh Wahyu Pambudi, mahasiswa semester akhir Program Studi Pendidikan Sejarah