Ketika Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
tentang Perguruan Tinggi (UU PT) disahkan oleh Presiden 12 Agustus 2012 muncul
penolakan dari berbagai pihak, mulai dari kalangan pengamat pendidikan, mahasiswa,
Perguruan Tinggi Swasta, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penolakan itu
merupakan rentetan keberatan sejak UU PT itu masih dalam bentuk Draft, 4 April
2012. Beberapa keberatan itu antara lain indikasi bahwa UU PT merupakan hasil
“kloning” dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), indikasi Liberalisasi
Pendidikan Tinggi dan “sengketa” kewenangan dalam otonomi pendidikan tinggi.
Kemudian mari kita kaji pertentangan-pertentangan itu lebih dalam. Pertama,
menyoal indikasi bahwa UU PT hasil “kloning” UU BHP. Tuduhan itu didasarkan
adanya banyak pasal yang memuat tentang Badan Hukum Pendidikan padahal bahwa UU
BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010 karena banyak pasal yang bertentangan dengan UUD
1945. UU PT seolah-olah ingin menghidupkan kembali UU BHP yang sangat
mengkomersilkan pendidikan.
Menurut hemat saya tuduhan itu kurang tepat, sebab pertama, UU BHP adalah
turunan dari UU No. 20 th. 2003 tentang Sisdiknas sedangkan UU PT bukanlah
turunan dari UU No. 20 th. 2003 melainkan turunan langsung dari UUD 1945. Ada
atau tidak UU PT akan tetap ada UU BHP sebab itu amanat Undang-Undang (Pasal 53
ayat 4, UU No. 20 th. 2003). Kedua tentang frasa “Badan Hukum Pendidikan”,
dalam putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 salah satu putusannya menyatakan bahwa frasa itu konstitusional sepanjang
frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi
penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Ketiga,
indikasi bahwa semangat BHP dalam UU BHP sama dengan BHP dalam UU PT yaitu
komersialisasi pendidikan, perlu pembuktian yang lebih konkrit. Pada dasarnya
BHP dalam UU PT merupakan sistem pengaturan keuangan yang memakai sistem Badan
Layanan Umum (BLU) yang memberikan pelayanan didasarkan
pada prinsip nirlaba, efisiensi dan produktivitas. Ke”awam”an masyarakat tentang BLU-lah yang memicu penolakan. Jika terjadi
penyelewengan dalam penerapan BLU bukan berarti sistem yang salah, melainkan
oknum.
Soal kedua, tentang indikasi Liberalisasi Pendidikan. Hal itu didasarkan
pada pasal 90 UU PT tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh negara lain,
pasal ini memungkinkan PT asing membuka cabang di Indonesia. Dengan adanya
klausul ini memungkinkan PT asing dapat menanamkan “investasi sosial”, “investasi
bisnis” dan “investasi ideologi” di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Sofyan Efendi,
pasal tersebut memiliki sejarah yang panjang, sejak tahun 1994 ketika Indonesia
meratifikasi perjanjian-perjanjian perdagangan mutilateral dan menjadi anggota World Trade Organization (WTO
- Organisasi Perdagangan Dunia) dan pada tahun 2005 menyetujui General
Agreement on Trade in Services (GATS – Perjanjian Umum Perdagangan Jasa),
dimana pendidikan merupakan salah satu dari 12 bidang jasa tersebut.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa
pendidikan sebagai berikut:
1)
Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan
kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program;
2)
Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang
paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri;
3)
Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan
membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan
tinggi lokal, dan
4)
Presence of natural persons, dosen atau pengajar
asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal.
Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan
bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah
negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut
dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean
seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal
dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik. Tingkat
partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14 persen, jauh
tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40 persen. Keterbasasan
dana pemerintah, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta
kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless”
market dalam pendidikan tinggi.
Kesimpulanya, tak dapat dipungkiri bahwa pasal 90
adalah pengejawantahan liberalisasi pendidikan, namun sampai kapanpun sulit
menghilangkan pasal ini selama Indonesia masih tergabung dalam WTO. Indonesia
tidak dapat mengucilkan diri dari Internasionalisasi (bukan Globalisasi),
hanya, pemerintah harus membuat regulasi yang tepat dan dapat menjamin
tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Terkait ideologi, kita selalu berfikir inferior,
seolah pancasila ideologi terkucil dan tidak mampu membendung ideologi-ideologi
asing. Mengapa kita tidak berfikir sebaliknya, menularkan ideologi pancasila
terhadap negara lain. Hanya dengan itu pancasila menjadi ideologi universal,
sejajar dengan marxisme, liberalisme, solialisme dan ideologi lain. Lagipula UU
PT telah menetapkan pancasila sebagai matakuliah wajib (Pasal 35 ayat 3b), selangkah lebih maju dari UU No. 20 Th. 2003. Harvard-pun
(seharusnya) wajib mengajarkan matakuliah pancasila jika membuka “waralaba” di
Indonesia.
Soal terakhir terkait otonomi perguruan tinggi.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa UU PT mencederai otonomi perguruan tinggi
dan juga dalam arti pendidikan tinggi. Pemerintah dinilai terlalu campur tangan
dalam menetapkan rumpun ilmu, kurikulum, dan penelitian. UU PT nantinya perlu
menerbitkan setidaknnya 11 Peraturan Pemerintah (PP) dan 31 Peraturan Menteri
(Permen), bandingkan dengan hanya 5 hal yang harus diatur dalam statuta PT
masing-masing. Bahkan menurut pasal 66, statuta PTN dan PTN Badan Hukum
ditetapkan dengan Permen dan PP.
Pengekangan terhadap kebebasan akademik akan justru
menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Idealnya memang PT diberikan otonomi
penuh untuk mengembangkan diri, namun kiranya perlu kita pertimbangkan kondisi
yang terjadi di Indonesia saat ini.
Saya berpendapat bahwa campur tangan pemerintah itu
bukan tanpa dasar. Pengaturan itu adalah bukan bentuk batas atas melainkan
batas minimal. M. Nuh, Mendikbud RI menyatakan dari 83 PT pemerintah,
kualitasnya berbeda-beda. Sebanyak 7 PTN berstatus badan hukum milik pemerintah
yang dinilai sebagai kampus unggulan di negeri ini, 20 PTN menerapkan
pengelolaan BLU, dan sisanya satuan kerja. Adapun jumlah PTS lebih banyak lagi,
sekitar 3.000 PT. Disparitasnya juga sangat lebar. Tak sampai 50% PTS ”sehat”. Belum
lagi soal kualitas dosen dan publikasi internasional. Dari sekian banyak PT itu
tak ada satupun yang masuk 100 besar dunia. Menurut QS Top Universities, UI
hanya menempati peringkat 217, ITB
peringkat 342 dan UGM peringkat 451. Hanya 3 PT itu yang masuk 100 besar
Asia dan menurut Webometrics ada 29 PT
yang masuk 100 besar Asia Tenggara (UI peringkat 6). Itu menunjukkan kualitas
PT Indonesia dibanding PT luar negeri.
UU PT tentu saja harus menaungi semua kepentingan
PT yang kondisinya berbeda-beda. Semuanya tentu ada saatnya, perlu ada
fase-fasenya, mulai dari penguatan, pemberdayaan, dan sinergi. Arahnya, PT
harus otonom. Kondisi saat ini sepertinya lebih memungkinkan untuk tetap
memberikan kontrol. Ada banyak wewenang yang telah didelegasikan kepada masing-masing
PT, namun banyak pula yang harus tetap berada dalam kewenangan Menteri atau
Pemerintah untuk menjamin semuanya menuju ke satu arah: tujuan pendidikan
nasional.
Kita bukanlah bangsa yang hendak berjalan mundur. Kita tidak ingin UU PT
bernasib seperti UU BHP. Kita tentu berharap semoga UU PT dapat meningkatkan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, sebagai pilar pembangunan bangsa. Menurut Prof. Dr. Soedijarto MA, Indonesia
adalah satu-satunya atau paling tidak salah satu dari tidak banyak negara yang
dalam deklarasi kemerdekaannya, yang selanjutnya tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 yang meletakkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bandingkan dengan deklarasi kemerdekaan
Amerika yang “hanya” menjamin terpenuhinya hak dasar manusia: “life,
liberty, and pursuit of happiness” – hak
hidup, kemerdekaan dan memperoleh kebahagiaan.*) oleh Wahyu Pambudi, mahasiswa semester akhir Program Studi Pendidikan Sejarah