CERPEN MAHASISWA
Namaku mahasiswa
dikirim dari ujung desa ke universitas di pusat
kota. Aku ternganga. Ah, namaku kan mahasiwa, tak butuh waktu lama untuk
sekadar beradaptasi. Inilah siklus hidup baruku.
Namaku Mahasiswa.
Dua minggu di awal bulan aku kaya, dua minggu
sisanya aku sengsara dan segera menghitung-hitung berapa receh yang tersisa
sambil bersiap-siap mengirimkan pesan ke siapa saja yang kukira-kira sedikit
berada.
Pengirim
: Mahasiwa +628381332xxx
Pusat Pesan :+6283150000xx
Dikirim
: 20-Mar-2012 15:45:00
“Miung, duit gw collapse. Lu mesti pinjemin gw,
klo gak, gw bakal mati.”
Pengirim
: Miung +6283813325xxx
Pusat
Pesan :+6283150000xx
Dikirim
: 20-Mar-2012 15:45:01
“Aduh, Sorry Mahasiwa, duit gw baru dipinjem bokap
buat nyicil motor. Maaf ya.”
Pengirim
: Mahasiwa +6283813325xxx
Pusat
Pesan :+628315000032
Dikirim
: 20-Mar-2012 15:45:02
“EE buset, dah. Yaudah deh. gw cari yang lain”
Namaku Mahasiwa
setelah sms ku terpontang panting ke berbagai
nomor yang ada, akhirnya aku mendapatkan sang pemilik harta. Jawabnya singkat
saja.
Pengirim
: Si Tajir +6283813325xxx
Pusat
Pesan :+6283150000xx
Dikirim
: 20-Mar-2012 15:45:03
“Ok! Mahasiswa, Butuh berapa? kita ketemu ntar di
Kafe XYZ. Gw traktir elu, tenang.”
Namaku mahasiwa,
Meski hidup morat marit, aku masih mengerti
sedikit politik, sosial, dan budaya. Berita perang sudah biasa, kisruh
politik tak jadi masalah. Tapi hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah
surat edaran dari pemilik kosku. Isinya begini.
Diberitahukan kepada seluruh penghuni Pondokan
Putri bahwa sejak tanggal 1 April 2013 uang
kos naik Rp1.000.000,00.
WHAT? aku mengucek mataku. Eh, salah baca.
Ternyata, naiknya Cuma Rp10.000 saja.
Ajaibnya, Pemilik Kos ku yang sudah tua renta itu
mampu menaikkan harga kos sejak isu kenaikan BBM baru terendus sedikit saja.
Bahkan pemerintahpun belum mengeluarkan peraturan apa-apa. Cicak pun dibuat
berdecak kagum oleh kemampuan Si Tua.
Namaku mahasiswa.
Agar tak dicap kurang pergaulan aku pun
menjejakkan kakiku di berbagai tempat. Tak cukup hanya mengukuhkan keberadaan
diri, namaku juga harus menghujam di bumi ini. Bukan hanya di lembaran daftar
hadir yang digilir di ruang kuliah.
“Kurang EKSIS tau!!!”
Aku pun menempel-nempelkan namaku di facebook,
twitter, blog, lembaran aplikasi beasiswa, formulir lomba tingkat RT/RW, di
ponsel dosenku, di komunitas yang tersurat dan tersirat, di kartu ATM, di bukti
pembayaran paket pos, di surat lamaran kerja, di makalah kelompok, dan di
otak-otak temanku. Namun dengan isengnya sahabatku yang tak terlalu dekat
berkata.
“Lu mah, gak Eksis!”
Apa dia bilang? aku meradang. Akhirnya aku
membubuhkan tandatangan dan namaku di setiap buku catatan teman-teman sekelas
yang berhasil kusentuh.
Namaku mahasiwa
Pernah duduk di bangku dalam kelas, bangku
auditoriun, bangku ruang seminar, bangku dosen ketika ia tak ada, bangku
angkot, bangku diskusi terbuka, bangku diskusi rahasia, bangku debat feminisme,
bangku debat masalah Tuhan, dan bangku-bangku yang tak sempat kuingat namanya.
Namaku mahasiwa,
pernah pula dipuji dosen ketika makalahku
sempurna. Lain waktu, dimaki di kelas lain karena dianggap tak becus.
“Kamu semester berapa sih? nggak ngerti cara
penulisan makalah ilmiah ya?”
Dasardosensialankurangajarseenaknyamemakikudidepankelas.
Sumpah serapahku keluar bertubi-tubi tanpa spasi. Tentu aku hanya mengucapkan
sumpah serapah itu di dalam hatiku saja. Namanya juga mahasiswa.
Namaku mahasiwa,
sebagai wujud balas dendam terhadap dosen yang
kejam, aku pun hadir di forum pergunjingan mahasiswa-mahasiswa tersakiti
hatinya. Ritual gunjing-menggunjing yang selalu terlaksana di bangku kantin,
sebelah mushala. Semoga Tuhan tak mendengarkan.
“Hahahah sebenarnya bapak itu lucu tahu, lihat
kepala klimisnya hahahahaa,” Ria memulai gunjingan.
Mahasiswa lain yang sakit hatinya telah
bertambah-tambah meniru-niru gaya dosen itu. Mirip sama dengan gerakan tubuh
Pak Dosen di kelas.
“Fahmi! ini teori apa sih? gak jelas!” Keningnya
berkerut-kerut, matanya melotot menatap tajam ke arah mahasiwa yang tengah
dihakimi. Aura tubuhnya menyembur bak si Dosen Pemarah. Fasih sekali temanku
itu meniru.
“HAHAHAHA” Mahasiwa-mahasiswa pun tertawa.
Namaku mahasiwa,
pernah ke kampus terlalu pagi, pernah terlambat
dua menit, lima menit, setengah jam, dan lebih sering terlambat tentunya.
Pernah jalan kaki, pernah naik bus kampus, pernah naik sepeda, naik ojek, naik
angkot, bahkan berlari untuk menuju kelas. Sungguh payah menimba ilmu itu
saudara.
Namaku mahasiwa.
Sesekali sibuk memikirkan negara. Kadang terlibat
pula dalam debat pemberantasan kemiskinan hingga aku lupa bahwa aku adalah
salah satu orang yang masuk dalam daftar orang-orang yang kuperdebatkan. Kadang
aku terlempar ke dalam diskusi mahasiswa wanita kebelet nikah yang memiliki
kemampuan luar biasa dalam menilai pria dengan teori A, B, C, D. Aku hanya
geleng-geleng kepala dibuatnya. Kadang terlibat pula dalam proyek penelitian
sederhana. Kadang terlempar dalam diskusi mahasiwa pria. Kadang aku menganggur
luar biasa.
Namaku mahasiwa,
Kalau aku lulus, aku jadi apa ya?
http://www.anakui.com/2012/06/06/cerpen-mahasiswa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar